Aku tak tahu namanya, aku selalu melihatnya di lampu merah
setiap malam, lelaki bertubuh kurus, berkulit hitam terbakar matahari. Ia selalu
menari sambil tersenyum tulus tanpa beban, mukanya ber-rias apa adanya.
Tariannya di iringi oleh suara gamelan seadanya. Senyumannya memang tulus tanpa
beban, tetapi di balik senyumnya pasti banyak beban yang ia pikul, mungkin
banyak beban yang harus ia tanggung, banyak pikiran yang ia pikirkan, ia
tidak memikirkan dirinya, di pikirannya hanya anak dan istrinya yang selalu
setia menemaninya di saat menari malam-malam, mungkin ia berfikir dapat kah
esok ia makan? Atau nanti mau tidur di mana? Pikiran dan perasaan hawatir larut
dalam gerak tari dan alunan gamelan. Suatu malam ku lewati lagi lampu merah
itu, aku perhatikan zebra cross untuk mencari pemandangan tarian yang seperti
biasa ku lihat setiap malam, tak ada, tak ada dia, saat ku tengok trotoar
ternyata ia duduk bersama anak dan istrinya yang sedang menikmati 2 nasi bungkus
untuk bertiga, dengan canda tawa dan ekspresi penuh syukur. Mungkin penari itu
sangat bersyukur karena malam ini dia, istri dan anaknya masih bisa makan,
walaupun sangat apa adanya. “Wahai penari
ajarilah aku agar bisa mensyukuri hidup seperti mu” rasanya ingin sekali
mengucap itu karena aku mulai sadar selama ini aku lebih banyak menuntut dari pada mensyukuri yang aku punya, padahal banyak orang yang tidak seberuntung aku, tapi aku hanya bisa melihat mereka dari jauh dan menjadikannya
teladan. Lampu lalu lintas pun kembali hijau aku pun kembali mengendarai motor
ku pergi menjauh meninggalkan kebersamaan dan rasa syukur mereka.